Sidang lanjutan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (UU Penerbangan) digelar Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ahli dan Saksi pada Senin (4/5), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang terdaftar dengan nomor 29/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan, Sigit Sudarmadji yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU a quo, di mana Sigit berminat membuat perusahaan penerbangan niaga berjadwal. Ketentuan tersebut mengatur jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara oleh pemegang izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.
Dalam sidang kali ini, anggota Komisi V DPR Abdul Hakim hadir mewakili DPR. Selain itu, pihak pemerintah juga menghadirkan ahli bidang hukum udara yakni H.K. Martono dan seorang pilot pesawat sebagai saksi, S. Nababan, yang kemudian secara bergiliran menyampaikan keterangannya.
Menurut Abdul Hakim, sektor penerbangan mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri. Untuk itu, sektor penerbangan perlu dikembangkan dengan memperhatikan teknologi, modal, manajemen dan pelayanan. Lebih lanjut, Abdul menyatakan bahwa sektor penerbangan juga memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal. Hal ini yang kemudian perlu ditata dalam satu kesatuan sistem guna mewujudkan totalitas yang utuh, berdaya dan berhasil guna serta dapat diterapkan. Selain itu, Abdul juga menyatakan bahwa undang-undang a quo menerapkan prinsip yang diterapkan di negara lain. Prinsip ini yakni tidak perlu banyak perusahaan penerbangan tetapi kuat bersaing di tataran nasional, regional dan global serta mampu menunjang pertumbuhan ekonomi nasional.
“Undang-Undang Penerbangan menerapkan prinsip yang juga diterapkan oleh negara-negara lain, yaitu tidak perlu banyak perusahaan penerbangan, tetapi tidak mampu dan sangat lemah, lebih baik sedikit tetapi kuat, bersaing pada tataran nasional, bersaing pada tataran regional, dan global, serta mampu menunjang pertumbuhan ekenomi nasional small but strong,” papar Abdul, dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Terkait dengan pokok permohonan, Abdul menyatakan bahwa pembatasan minimum jumlah pesawat dalam ketentuan a quo bertujuan untuk memperkuat industri penerbangan. Selain itu, ketentuan tersebut juga diharapkan dapat menciptakan mekanisme usaha yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Abdul menyatakan bahwa apa yang dimohonkan oleh Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas, melainkan implementasi norma.
“Maka apa yang disampaikan oleh para Pemohon sebenarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, menurut pandangan kami, tetapi hanya merupakan persoalan implementasi norma yang diiringi dengan kesiapan teknis, infrastruktur dan kebijakan dari stakeholder yang terkait dalam penyelenggaraan angkutan penerbangan,” urai Abdul.
Mutlak Miliki Pesawat
Senada dengan pendapat DPR, ahli bidang hukum udara H.K. Martono juga menyampaikan bahwa filosofi UU Penerbangan adalah lebih baik sedikit perusahaan penerbangan, tetapi mampu bersaing pada tataran nasional, regional, maupun global serta mampu menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Martono, undang-undang a quo mengatur kebijakan pendirian perusahaan penerbangan secara bertahap, dari perusahaan penerbangan tidak berjadwal ke perusahaan penerbangan yang berjadwal. Hal ini dimaksudkan untuk menampung masyarakat yang modalnya terbatas untuk dapat mendirikan perusahaan penerbangan tidak berjadwal.
Selain itu, menurut Martono, kepemilikan pesawat udara dalam perusahaan penerbangan adalah mutlak diperlukan karena pesawat udara adalah inti bisnis penerbangan.
”Persyaratan kepemilikan pesawat udara adalah mutlak diperlukan karena pesawat udara adalah rohnya Undang-Undang Penerbangan. Tidak ada perusahaan penerbangan tanpa memiliki pesawat udara,” kata Martono, yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara.
Lebih lanjut, Martono menyatakan bahwa persyaratan kepemilikan pesawat udara merupakan kebijakan terbuka yang disepakati oleh DPR dengan pemerintah. Hal ini dilakukan setelah memperhatikan aspek kelangsungan hidup perusahaan penerbangan, tersedianya transportasi udara nasional dan peran serta masyarakat. “Persyaratan kepemilikan pesawat udara tersebut merupakan kebijakan terbuka yang disepakati oleh DPR dengan pemerintah berdasar kewenangan yang diatur oleh undang-undang. Setelah memperhatikan segala aspek untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan penerbangan, tersedianya transportasi udara nasional, dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan di dalam penyelenggaraan transportasi udara,” kata Martono.
Menanggapi keterangan ahli, Pemohon Sigit Sudarmadji menanyakan pernyataan ahli terkait dengan kebijakan untuk mendirikan perusahaan penerbangan yang dilakukan secara bertahap dari penerbangan tidak berjadwal ke yang berjadwal. Menurut Sigit, penerbangan tidak berjadwal dan penerbangan berjadwal merupakan dua jenis penerbangan yang diatur secara terpisah. Menjawab pertanyaan itu, Martono menjelaskan bahwa konsep bertahap itu Ia sampaikan pada waktu menjadi narasumber pembahasan rancangan undang-undang penerbangan. Menurutnya, tahap pertama adalah perusahaan penerbangan tidak berjadwal karena lebih mudah dengan tiga pesawat udara, kemudian ke perusahaan penerbangan yang berjadwal.
“Kebetulan adalah saya narasumber di dalam pembahasan itu. Jadi, kira-kira tahapannya pertama adalah tidak berjadwal dulu karena itu persyaratan lebih gampang hanya tiga pesawat udara mempunyai satu dimiliki, dua dikuasai. Kalau ini sudah oke berjalan baru nanti baru diizinkan lagi untuk berjadwal dan sebagainya. Kira-kira begitu pola pikirnya. Itu kita tampung di dalam pembahasan waktu membahas undang-undang tadi,” tandas Martono. (Triya IR).