Sebanyak 108 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Maranatha Bandung mengunjungi Mahkamah Konstitusi, Selasa, (28/04), didampingi oleh 3 orang dosen FH Maranatha.
Dalam kesempatan itu peneliti pada Mahkamah Konstitusi, Aji Ramdan, yang menerima rombongan tersebut menjelaskan fungsi dan kewenangan MK untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, memutus pembubaran partai politik, serta memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran berdasar UUD.
Dijelaskan Aji, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD adalah warga negara Indonesia. Aji mengungkapkan, beberapa waktu lalu ada seorang warga negara asing yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang, namun permohonan tersebut ditolak oleh MK. Aji menambahkan, MK tidak tidak memiliki kewenangan untuk mengubah suatu undang-undang, MK hanya dapat menyatakan suatu undang-undang atau norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, kalau pun dalam pengujian norma undang-undang berakibat keseluruhan UU dinyatakan MK bertentangan dengan konstitusi, hal itu karena pasal yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi adalah pasal jantung dari UU tersebut. Aji memberikan contoh dalam pengujian UU Badan Hukum Pendidikan, yang seluruhnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena yang diuji adalah pasal jantung dari UU tersebut yang berisi pengertian dan definisi, yang menjadi acuan pasal-pasal di belakangnya.
Selanjutnya dalam perselisihan hasil pemilihan umum, Aji menuturkan bahwa obyek yang menjadi sengketa perkara ini adalah perolehan suara hasil pemilu, bukan jumlah kursi yang didapat oleh partai atau kandidat, karena yang menetapkan jumlah perolehan kursi adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam perselisihan hasil pemilu, Aji mengatakan bahwa MK pernah menyatakan istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Dijelaskan Aji, pelanggaran terstruktur adalah pelanggaran yang melibatkan birokrasi secara berjenjang dari struktur pejabat tertinggi hingga terbawah. Sistematis adalah pelanggaran yang dilakukan secara terencana dan sistematis, sementara masif, Aji menjelaskan pelanggaran tersebut dilakukan hampir menyeluruh di daerah pemilihan.
Berbicara mengenai pembubaran partai politik, Aji menjelaskan bahwa yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan perkara ini adalah pemerintah. Aji mengungkapkan, beberapa waktu lalu ketentuan ini pernah dimohon untuk diuji MK oleh Pong Harjatmo dan Ridwan Saidi, namun permohonan ini ditolak oleh MK.
“Sangat sulit untuk memakzulkan presiden karena persyaratan yang ketat” kata Aji. Menurutnya UUD menentukan syarat yang ketat dalam pemakzulan presiden karena pilihan kita untuk memilih sistem presidensiil. Menurutnya, dalam perkara pemakzulan presiden, DPR harus mampu membuktikan bahwa Presiden/Wakil Presiden melanggar konstitusi.
Menjawab pertanyaan para peserta mengenai keberlakuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang diatur dalam UU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Aji menjelaskan bahwa norma itu untuk melindungi keberlakuan TAP MPR pasca reformasi yang dituangkan dalam sejumlah UU. Menurutnya, berdasar amanat UUD 1945 MK tidak diberi kewenangan untuk menguji TAP MPR.
Terhadap polemik Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, Aji mengatakan bahwa tujuan PK sejatinya memang tidak untuk mencari kepastian hukum, melainkan untuk mencari keadilan. Menurut Aji, andai PK dibatasi hanya satu kali hal itu justru mengakibatkan ketidakadilan. Aji menjelaskan, berdasar putusan MK pengajuan PK juga tidak boleh main-main atau untung-untungan, karena PK harus diajukan dengan bukti baru yang kuat.