Sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pemilukada) - Perkara No. 42/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/4) siang. Majelis Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dalam persidangan hadir Pemohon, Jumanto beserta kuasa hukumnya Widodo Iswantoro dkk. Perbaikan permohonan disampaikan Pemohon, antara lain mengenai tambahan bukti, kerugian konstitusional Pemohon, serta mengaitkan permohonan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan.
“Sesuai saran Majelis Hakim, agar mengaitkan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, apakah norma-norma yang sedang diuji ini bertentangan dengan filosofi Undang-Undang Pemasyarakatan?” jelas Widodo Iswantoro kuasa hukum Pemohon.
“Sedangkan mengenai petitumnya tetap tidak ada perubahan. Selain itu kami memasukkan kerugian materil dari Pemohon, serta memasukkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ucap Sururudin kuasa hukum lainnya dari Pemohon.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Jumanto selaku Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pemilukada. Pasal 7 huruf g UU Pemilukada menyebutkan,”Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:...... (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Sedangkan Pasal 45 ayat (2) huruf k UUD 1945 menyebutkan, “Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ……(k) surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g.”
Pemohon menganggap, adanya larangan mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepada daerah karena pernah dihukum dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih dalam ketentuan tersebut merupakan aturan yang sewenang-wenang, sehingga seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah, selain itu akan menghambat seseorang untuk berpartisipasi secara aktif dalam salah satu agenda demokrasi di negara ini.
Padahal, menurut Pemohon, pemilihan kepala daerah - gubernur, bupati, dan walikota adalah bagian dari proses demokrasi yang merupakan warisan reformasi yang membedakan dengan orde sebelumnya. Menurut Pemohon, peraturan perundang-undangan yang berlaku pasca reformasi telah memberikan kedaulatan secara penuh kepada rakyat untuk memilih secara langsung pemimpin daerahnya.
Namun bukan berarti seseorang yang pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak boleh berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Karena dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kedudukan yang sama dalam hukum bagi seluruh warga negara. (Nano Tresna Arfana)