Larangan pencalonan seseorang menjadi kepala daerah karena pernah dihukum kembali diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/4) siang dengan menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pemilukada). Perkara No. 42/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Jumanto dan Fathor Rasyid yang berniat maju dalam pemilukada di Jawa Timur. Pemohon yang mantan terpidana merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pemilukada yang berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pasal 7 huruf g UU Pemilukada menyebutkan, “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Sedangkan Pasal 45 ayat (2) huruf k menyebutkan, “Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (k) surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g.”
Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum Pemohon menyampaikan, Pasal 7 huruf g dan huruf h seperti mengalami kontradiksi.
“Kalau pada huruf g Undang-Undang Pemilukada mengatakan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, pertanyaannya bisakah huruf h itu sekonyong-konyong dijatuhkan pada seseorang? Tidak ada hujan, tidak ada angin tiba-tiba dicabut hak pilih seseorang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap?” kata Yusril mempertanyakan.
Pada persidangan, Yusril juga meminta saran Majelis Hakim mengenai perlu tidaknya penambahan dalam argumen posita Pemohon. ”Apakah norma Pasal 7 huruf g itu sejalan atau tidak sebenarnya dengan folisofi pemasyarakatan kita? Filosofi pemasyarakatan kita kan mendidik orang supaya menjadi orang baik, tidak lagi menghukum orang itu, menyiksa orang itu supaya jera, tapi supaya orang itu insaf. Terus dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan menjadi orang baik, kembali hidup di masyarakat sebagaimana layaknya seorang warga negara yang baik. Itulah tujuan filosofi pemasyarakatan kita,” papar Yusril.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan kuasa Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyarankan Pemohon agar memperbaiki alat bukti dan melengkapi bukti. “Sehingga pada sidang perbaikan permohonan, kami akan langsung mensahkan bukti-bukti Pemohon,” kata Patrialis Akbar selaku pimpinan sidang pemeriksaan pendahuluan ini.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto menilai ketentuan Pasal 7 huruf g dan h Undang-Undang Pemilukada perlu diperkaya lagi dengan teori-teori yang bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia. “Karena dalam teori hukum pidana tidak boleh satu tindak pidana dijatuhi dua hukuman,” imbuh Aswanto.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan agar Pemohon lebih memperjelas secara spesifik penjelasan yang dimaksud Pemohon. Kemudian mengenai posita Pemohon, Palguna menilai sudah cukup, tidak perlu ditambahkan lagi karena sudah sangat panjang. (Nano Tresna Arfana)