Ketentuan kewajiban sumpah bagi advokat oleh Pengadilan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang teregistrasi dengan nomor 36/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Abraham Amos, Johni Bakar, Rahmat Artha Wicaksana, Andreas Wibisono, Mohamad John Mirza, Mintarno dan Ricardo Putra, yang merupakan para advokat. Sebelumnya, MK pernah mengeluarkan putusan terhadap materi yang sama, yakni dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009. Meskipun demikian, para Pemohon masih merasa dirugikan karena putusan MK tersebut dalam praktiknya tidak dilaksanakan.
“Sesuai dengan perintah Mahkamah, dalam dua tahun setelah putusan ini dibacakan, organisasi advokat sudah harus melaksanakan kongres bersama, namun apabila kongres ini tidak terlaksana, maka perselisihan tentang organisasi advokat diselesaikan di peradilan umum. Dua pertimbangan ini sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh organisasi advokat de facto yang ada,” papar Abraham Amos dalam sidang panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, pada Senin (6/4) siang di ruang sidang pleno MK.
Lebih lanjut, Abraham menyatakan meskipun pasal a quo pernah diujikan, namun merujuk pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, maka tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali. “Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan mahkamah, maka terhadap undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali, berdasarkan putusan Nomor 85/PUU-XI/2013,” kata Abraham.
Pada kesempatan itu, salah satu Pemohon, Johni Bakar juga menyampaikan bahwa meskipun sudah terdapat putusan MK, namun ketika organisasinya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) memohon penyumpahan, Pengadilan Tinggi tetap menolaknya. “Kalau persoalan masalah sumpah, kami sampaikan dengan bahasa awamnya kami, kami sudah mohonkan, organisasi ini sudah mohonkan sumpah, tetapi pengadilan tinggi yang tidak mau. Di mana salahnya kami, organisasi kami sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak dikasih, ujung-ujungnya ini dijadikan senjata untuk menjegal kami beracara, di mana keadilan,” papar Johni.
Lebih lanjut, Johni menyatakan bahwa organisasinya sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun yang menjadi kendala adalah adanya perlakukan yang berbeda oleh Mahkamah Agung terhadap organisasinya. “Andai saja Mahkamah Agung tidak merangkul dan menginjak daripada salah satu organisasi ini, kami berkeyakinan bisa secara mandiri menyelesaikan persoalan kami, tapi yang menjadi problem, yang satunya dipeluk, yang satunya dibuang,” kata pungkas Johni.
Untuk itu dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat, sepanjang frasa “Pengadilan Tinggi” dan frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” tidak dimaknai sebagai hak mutlak (absolutely right) Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, dan penyumpahan Advokat adalah kewajiban dari Organisasi Advokat masing-masing dengan segala akibat hukumnya.
Setelah mendengarkan permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat terhadap permohonan para Pemohon. Menurut Wahiduddin permohonan tersebut lebih persoalan implementasi norma, bukan pertentangan norma. Permasalahan implementasi ini, lanjut Wahudiddin, terkait dengan belum dilaksanakannya Putusan MK, karena terdapat masalah-masalah internal yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan Putusan MK yang lalu. “Jadi, sebetulnya ini nampaknya adalah bersumber pada konflik di organisasi yang ada ini, sehingga ini coba diajukan lagi, begitu ya,” kata Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto memberikan masukan kepada Pemohon agar lebih memfokuskan permohonan. Hal ini dikarenakan permohonan terlalu panjang, sehingga kerugian konstitusional susah untuk dipahami. Selain itu, Aswanto juga menyoroti petitum permohonan yang di dalamnya terdapat inkonsistensi. Di satu sisi Pemohon meminta agar beberapa frasa dalam Pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun di sisi lain terdapat permintaan agar Pasal tersebut dimaknai lain.
“Itu Saudara memohon agar frasa tersebut dinyatakan tidak konstitusional. Tetapi di sisi lain, pada petitum, coba nanti dilihat di petitum nomor 4, di petitum nomor 4 meminta supaya dimaknai lain,” kata Aswanto.
Kemudian Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan bahwa berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK, sebenarnya sudah terdapat akses untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan penyumpahan. Namun menurut Suhartoyo, memang dalam praktiknya persoalan penyumpahan merupakan hal krusial. Lebih lanjut Suhartoyo menanyakan kepada Pemohon apakah organisasinya sudah mencoba penyelesaian permasalahan melalui peradilan umum. “Yang di putusan yang lalu bahwa supaya diselesaikan oleh kedua organisasi, dan kalau tidak ditemukan kemudian bisa diteruskan atau diambil alternatif ke penyelesaian di Peradilan Umum, apakah oleh pihak KAI sudah dicoba penyelesaian melalui peradilan umum?” tanya Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga memberikan masukan agar Pemohon lebih menyesuaikan antara posita dan petitum permohonan. Suhartoyo juga memberikan nasihat agar kalangan internal advokat melakukan instrospeksi. “Bapak-bapak juga harus introspeksi, jangan menyalahkan. Karena di internal para advokat sendiri, Peradi maupun KAI juga, selama ini enggak pernah mau. Artinya bahwa karena ketidakbisaan penyatuan organisasi, itu kan berimplikasi pada kesulitan di penyumpahan itu sebenarnya,” pungkas Suhartoyo. (Triya IR)