Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak menerima pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Pilkada) dan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahanan Atas UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perpu Pemda).
“Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan perkara nomor 118, 119, 125, 126, 127, 129, 130, dan 135/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (18/2).
Mahkamah berpendapat, permohonan yang diajukan dalam adalah pengujian konstitusionalitas Perpu yang saat itu belum disetujui atau ditolak oleh DPR, sehingga Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu tersebut. Namun, karena kini Perpu a quo telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang, objek permohonannya menjadi hilang. “Dengan demikian bila diperlukan pengujian konstitusionalitas secara tersendiri dapat dilakukan terhadap Undang-Undang tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim membacakan Kewenangan Mahkamah.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 20 Januari 2015 telah menyetujui Perpu Pilkada dan Perpu Pemda ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kemudian pada tanggal 2 Februari 2015 Presiden telah mengesahkan kedua Perpu tersebut menjadi UU Nomor 1/2015 dan UU Nomor 2/2015. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Perpu Pilkada yang menjadi objek permohonan Pemohon sudah tidak ada, sehingga permohonan Pemohon telah kehilangan objek.
Dalam putusan perkara tersebut, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Menurut Patrialis, alasan Presiden untuk mengeluarkan Perpu Pilkada tidak tepat. Pasalnya, tidak benar Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah kosong atau tidak memadai saat Perpu 1/2014 ditetapkan. Alasan tersebut dinilai malah mengabaikan fakta bahwa RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota telah disetujui menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR pada tanggal 26 September 2014. Pada saat Rapat Paripurna DPR tersebut, tidak ada satupun catatan keberatan yang disampaikan oleh Presiden terhadap hasil pembahasan RUU tersebut. oleh karena itu, suatu hal yang tidak tepat apabila Presiden menyatakan terjadi kekosongan hukum.
Makna Perpu
Sebagai penafsir tunggal konstitusi dan pengawal konstitusi, Mahkamah merasa perlu memberikan telaahan tentang makna dan hakikat produk hukum Perpu menurut UUD 1945. Perpu pada dasarnya dibutuhkan oleh penyelenggara negara dan Pemerintah agar negara dapat berjalan dengan. Perpu dikeluarkan sebagai solusi yang segera dapat dilaksanakan guna mengatasi permasalahan yang sewaktu-waktu dapat muncul atau keadaan yang genting dan memaksa.
Dengan kata lain, Mahkamah menekankan bahwa Perpu bukan suatu alat kekuasaan politik. Perpu merupakan "escape clause`" kepada Presiden sebagai pemegang hak subjektif yang dibatasi oleh konstitusi.
Sebelumnya, Pemohon menilai pembentukan perpu dinilai cacat formil karena tidak memenuhi tiga alasan untuk presiden mengeluarkan perpu. Pertama, kebutuhan mendesak, kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada, dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang.
Sedangkan pemohon perkara Nomor 118/PUU-XII/2014, Victor Santoso Tandiasa sebagai perwakilan dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi mengatakan permohonannya mengacu pada Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 mengenai kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada. “Di situ Mahkamah Konstitusi secara tegas mengatakan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, oleh karenanya MK tidak berwenang menangani sengketa pilkada,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengamanatkan bahwa pilkada diselenggarakan melalui mekanisme perwakilan di DPRD sudah tepat karena telah membedakan antara rezim pilkada dengan rezim pemilu. Namun, perpu yang dikeluarkan menyatakan penyelenggaraan pilkada dalam perpu menggunakan Komisi Pemilihan Umum. Padahal, pemohon menilai KPU diatur oleh konstitusi sebagai lembaga independen yang menyelenggarakan pemilu yang lima tahun sekali, yakni pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, dan DPRD.
“Artinya secara limitatif, konstitusi sudah mengatur bahwa KPU hanya untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang diselenggarakan secara lima tahun sekali dengan hanya untuk menyelenggarakan DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, bukan kepala daerah,” tegas Victor.
Oleh karena itu, Pemohon menganggap pemberlakuan perpu dipaksakan, dan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi penyelenggaraan pilkada oleh KPU secara konstitusionalitas norma. “Nah, ini yang kemudian menjadi kekhawatiran kami ke depan dari forum kajian hukum dan konstitusi,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)