Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan mufakat atau dengan suara terbanyak. Demikian redaksi baru Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang dinyatakan Mahkamah dalam amar putusan perkara No. 3/PUU-XII/2014. Amar putusan tersebut diucapkan langsung oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva pada sidang yang digelas Selasa (23/12) di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK.
Sebelumnya, Pasal 29 ayat (1) UU Ormas menyatakan kepengurusan Ormas di setiap tingkatan hanya dapat dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Ketentuan tersebut digugat oleh empat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tiga Pemohon perorangan. Keempat LSM tersebut antara lain Yayasan FITRA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sedangkan Pemohon perorangan perkara ini, yaitu Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Choirul Anam selaku Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), dan Poengky Indarti selaku Direktur Eksekutif Imparsial.
Para Pemohon beralasan ketentuan tersebut menciptakan ruang bagi pemerintah dalam urusan internal Ormas sehingga mengancam independensi organisasi sebagai pilar utama hak atas kebebasan berserikat. Dengan kata lain, Para Pemohon menyatakan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat musyawarah dan mufakat adalah proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada demokrasi Pancasila. Namun demikian, demokrasi Pancasila tidak menegasikan (meniadakan, red) proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak.
Oleh karena itu, Mahkamah menilai ketentuan a quo yang tidak memungkinkan adanya pengambilan keputusan melalui suara terbanyak dapat menimbulkan persoalan dan stagnasi terhadap Ormas. Sebab, pengambilan keputusan berdasarkan musyarawah dan mufakat tidak selalu dapat dicapai. Bila tidak dapat dicapai tentu saja dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Akibatnya, ketidakpastian hukum tersebut justru bertentangan dengan UUD 1945. Agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengindari stagnasi (kebuntuan, red) dalam persoalan pemilihan kepengurusan Ormas, Mahkamah akhirnya memutuskan pengambilan keputusan memalui suara terbanyak juga dapat dilakukan.
Agar tidak ditafsirkan berbeda-beda, Mahkamah menyatakan langsung redaksi baru Pasal 29 ayat (1) UU Ormas. “Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan selengkapnya menjadi, ‘Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan mufakat atau dengan suara terbanyak’,” ujar Hamdan membacakan amar putusan Mahkamah dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Sementara itu terhadap gugatan Para Pemohon terhadap Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 23, Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU Ormas, Mahkamah menyatakan mutatis mutandis dengan putusan Mahkamah No. 82/PUU-XI/2013 yang dimohonkan oleh PP Muhammadiyah. Sekadar diketahui, gugatan PP Muhammadiyah terhadap pasal-pasal tersebut dikabulkan sebagian oleh Mahkamah dan putusannya dibacakan pada hari yang sama. (Yusti Nurul Agustin)