Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap UUD 1945 pada Senin (22/12) pukul 13.30 WIB. Perkara dengan nomor 137/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Agbasi Chika, seorang warga negara Nigeria serta sekelompok advokat yaitu Didit Wijayanto Wijaya, Antonius Sujata, Ahmad Murad, Erdiana, Ristan BP Simbolon, Hanung Hudiono, dan Iqbal Alif Maulana. Chika adalah terdakwa kasus pengedar narkotika yang ingin mendapatkan keadilan tetapi merasa terhambat dalam memenuhi hak-nya akan persamaan di hadapan hukum dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU MK.
“Sebetulnya, Pemohon bahwa sesungguhnya telah diperlakukan sama di hadapan hukum. Namun dalam hal untuk mendapatkan keadilan, dirinya tidak dapat melakukan upaya hukum yang sama karena adanya Pasal 51 ayat (1) UU MK yang dinilai membatasi dan membeda-bedakan,” ujar kuasa hukum Pemohon Iqbal Alif M.
Pada sidang perdana kali ini, Pemohon dalam permohonannya juga menerangkan bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.“ Sementara, Pasal 51 ayat (1) UU MK hanya menyatakan Warga Negara Indonesia, bukan setiap orang. Padahal, menurut Pemohon, selama menyangkut persoalan persamaan dan keadilan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, tanpa kecuali, setiap negara dan perangkat atau lembaga yang ada didalam negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Atas dasar tersebut, Pemohon menilai ketentuan a quo tidak sejalan dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Panel Hakim Konstitusi Aswanto memberikan nasihat agar Pemohon mempelajari dan mengetahui apakah UU yang diajukan pernah di gugat ke MK atau belum, dan bagaimana putusannya. “Sepertinya ada dua putusan terkait UU MK tersebut, antara lain perkara No. 23/PUU-V/2007 dan perkara No. 73/PUU-VIII/2010. Dipelajari dan dipahami isi putusannya, karena itu berguna untuk menyusun petitumnya karena terkait nanti dengan positanya. Dan juga Pemohon harus menyampaikan kerugiannya secara spesifik, dan diurai secara jelas.” ujar Aswanto.
Selain itu, Pemohon juga diminta untuk memperjelas siapa saja Pemohonnya. Apakah Pemohon yang merupakan kelompok advokat bertindak sebagai Advokat sosialis atau sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang mengalami kerugian konstitusional. (Panji)