Dosen Teknik Elektro Universitas Gajah Mada dan Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran mengatakan peralatan listrik yang dipasang harus memenuhi standar teknis yang telah ditetapkan dan dibuktikan dengan bukti uji teknis tersertifikasi sesuai standar yang ditetapkan.
Hal tersebut untuk menjamin tidak akan terjadi gangguan terhadap sistem yang akan berimbas pada konsumen. “Misalnya, ada gedung tiba-tiba terbakar karena listrik, itu aliran listrik yang mengalir ke gedung itu juga mengalir ke daerah lain, maka harus dipadamkan aliran itu, kan menjadi kerugian bagi konsumen-konsumen yang lain,” ujarnya dalam sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/12).
Selain itu, peralatan listrik yang sesuai standar akan menjamin bahwa instalasi tidak akan membahayakan terhadap manusia yang menyebabkan kefatalan, kematian, cacat karena kecelakaan. Terakhir, untuk menjamin bahwa instalasi tidak akan menyebabkan kerusakan terhadap peralatan. Ini juga harus dijaga bahwa akibat korsleting bisa saja menyebabkan peralatan tiba-tiba trip.
Oleh karena itu, selain harus sesuai standar yang ditetapkan, instalasi listrik juga perlu dikerjakan oleh orang atau lembaga yang kompeten. “Selain itu, instalasi listrik sebelum dialiri daya harus diuji dan diperiksa oleh lembaga atau orang yang kompeten, apakah sudah memenuhi persyaratan teknis sesuai keperuntukannya. Ini sangat penting,” imbuh Tumiran yang hadir sebagai saksi pemerintah.
Ketentuan tersebut diatur dalam UU Ketenagalistrikan dan didukung oleh PP Nomor 62 Tahun 2012, PP Nomor 14 Tahun 2012, serta Peraturan Menteri terkait. “Bapak Hakim dan Ibu Hakim Yang Mulia, untuk memanfaatkan energi listrik, diperlukan instalasi listrik yang benar, terstandardisasi, dan dikerjakan oleh orang institusi yang memiliki kompetensi agar instalasi yang dipasang aman, andal, dan tidak membahayakan kepada manusia,” tegasnya.
Tanpa Biaya
Sementara saksi yang dihadirkan Pihak Terkait Isa Idris menceritakan pengalamannya ketika instalasi listrik dengan sertifikat laik operasi (SLO).
Rumah barunya yang akan dipasang listrik didatangi Tim Pemeriksa Instalasi Listrik. “Saya belum tahu pada saat itu dari lembaga atau badan apa. Ternyata di tengah perjalanan sambil ngobrol-ngobrol, mereka dari PPILN. Dia menceritakan sebelum dipasang listrik, nanti dicek dulu alat-alatnya apakah sudah sesuai standar,” ujarnya.
Menurutnya, tim yang memeriksa instalasi tersebut memeriksa alat-alat yang akan dialiri listrik di rumahnya. “Termasuk stop kontak, saklar, termasuk juga kabel, dicek semua pakai diukur. Setelah itu,kira-kira berapa hari kemudian, saya dapat sertifikat bahwa di situ sudah layak untuk dialiri listrik,” imbuhnya.
Isa menambahkan, biaya pemeriksaan instalasi listrik sudah termasuk dalam biaya instalasi listrik oleh Biro Teknik Listrik (BTL). “Saat itu saya membayar untuk instalasi termasuk sertifikat sekitar 1,7 juta rupiah,” ujarnya.
Sebelumnya, Ibnu Kholdun selaku Pemohon perkara nomor 58/PUU-XII/2014 menilai ketentuan norma Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menjadi norma diskrimatif bagi Pemohon sebagai konsumen maupun pekerja listrik. Pasalnya, baik pelanggan kaya maupun pelanggan yang tidak mampu harus membayar biaya pembuatan sertifikat laik operasi. Hal tersebut telah menimbulkan kerugian dan berpotensi menimbulkan kerugian, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Sepanjang ketentuan Pasal 44 ayat (4) tetap berlaku, tanpa memiliki sertifikat layak operasi, maka Pemohon dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan,” ujar Ibnu di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan:
“Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi”.
Pasal 54 UU Ketenagakerjaan menyatakan:
- 1. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- 2. Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standard nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan atas pembatalan pasal-pasal a quo secara keseluruhan. (Lulu Hanifah)