Permohonan 9 perusahaan tambang yang mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (UU MInerba) diolak oleh Mahkamah Konstitusi, pada sidang pengucapan putusan Perkara 10/PUU-XII/2014, yang dipimpin oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva, Rabu (03/12),
Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dalam implementasinya telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena kesewenangan-wenangan Pemerintah dalam mengambil kebijakan dan menyusun regulasi.
Terhadap dalil pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah fungsi pengaturan oleh negara dapat dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Presiden atau melalui kewenangan regulasi oleh Pemerintah, yang salah satunya adalah pengaturan melalui pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
“Penguasaan oleh negara atas sumber daya mineral dan batubara berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur dan membuat kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara dengan batasan ukuran konstitusional, yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadli Sumadi.
Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba telah mengatur mengenai kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Hal itu dinilai oleh Mahkamah sebagai salah satu cara untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Selain itu, Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan. Untuk melakukan pengaturan lebih lanjut, Mahkamah berpendapat Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara, dapat menetapkan Peraturan Pemerintah.
Terkait dalil para pemohon yang mempersoalkan regulasi Pemerintah, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM), yang melarang ekspor bijih (raw material atau ore), Mahkamah berpendapat, berdasarkan nalar hukum peraturan tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara konstitusional merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang dalam bidang urusan tertentu dibantu oleh menteri negara.
Selain itu menurut Mahkamah, substansi ketentuan dalam pasal tersebut mewajibkan perusahaan pertambangan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan dan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Mahkamah juga beranggapan, peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri.
Dengan demikian menurut Mahkamah, jika Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah sebuah kewajaran karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri.
Mahkamah menilai kerugian yang dialami para Pemohon adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri yang mengabaikan dan menutup mata terhadap perintah Pasal 102 serta Pasal 103 UU Minerba, dan bukan karena akibat dari peraturan pelaksana yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan amanat Pasal 102 dan Pasal 103. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba tersebut adalah dalam rangka melindungi sumber daya mineral dan batu bara guna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Menurut Mahkamah, kebijakan negara dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba justru untuk memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945, karena dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan “larangan ekspor” akan menyebabkan ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu karyawan perusahaan tambang akan kehilangan pekerjaan dan secara potensial bertentangan dengan konstitusi, menurut Mahkamah, pemutusan hubungan kerja itu tidak akan terjadi apabila perusahaan tambang sejak awal berkomitmen melaksanakan ketentuan yang termuat dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sendiri ataupun melalui cara melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Namun sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan, hal itu tidak dilakukan dengan dalih biaya yang terlalu mahal untuk membangun smelter. Padahal ketika akan mengajukan izin mereka sudah mengetahui adanya ketentuan untuk melakukan pemurnian di dalam negeri.
Mahkamah berpandangan, seandainya para Pemohon disamakan dengan pemegang kontrak karya, para Pemohon sudah diberikan waktu yang cukup dalam masa transisi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Namun pemohon tetap tidak melakukan usaha untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Mahkamah juga menilai, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012, Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014, merupakan implementasi dari Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba yang mewajibkan para pemegang IUP dan/atau IUPK melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri melalui pembangunan smelter atau bergabung dengan perusahaan lain di dalam negeri yang memiliki smelter.
Dengan demikian dalam pendapatnya Mahkamah mengatakan tidak ada permasalahan konstitusional dengan norma tersebut. Bahkan hal itu diakui oleh para Pemohon yang menyatakan, bahwa di dalam undang-undang baik secara implisit maupun eksplisit sebenarnya tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan ekspor bijih. Larangan ini hanya muncul pada peraturan pelaksananya, yakni peraturan menteri. Hal ini justru menunjukkan dalil para Pemohon tersebut terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. (Ilham)