Mahkamah konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 67 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Senin (1/12). Agenda sidang dalam Nomor Perkara 25/PUU-XII/2014 yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, adalah mendengarkan keterangan sejumlah ahli yang diajukan oleh Pemerintah.
Salah seorang ahli yang diajukan Pemerintah, yakni pakar Hukum Tata Negara Yuliandri dalam keterangannya, mengatakan bahwa UU OJK tidak bertentangan dengan Konstitusi. Menurut Yuliamndri, dengan tidak adanya cantolan norma dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bukan berarti UU OJK menjadi tidak sah. Lebih lanjut guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat, itu mengatakan ada beberapa pendekatan dalam membuat UU. “Materi muatan UU juga dapat berasal dari: pertama, perintah dari suatu UU untuk mengatur atau untuk diatur dengan UU. Kedua, pengesahan perjanjian internasional, dan ketiga adalah tindak lanjut dari putusan MK, serta yang terakhir adalah pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat “ ujar Yuliandri, merujuk pada Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Yuliandri mengatakan, UU OJK merupakan UU yang dibentuk berdasar perintah Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi UU. “Tugas mengawasi bank akan akan dilakukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan UU,” kata Yuliandri. Menurutnya, ketentuan ini lah yang menjadi keabsahan legalitas UU OJK. Dengan demikian, tidak ada masalah konstitusionalitas dengan UU OJK.
Selain itu dalam keterangannya Yuliandri mengatakan berdasar pendekatan DPR, dasar dan materi muatan pembentukan UU tidak terbatas hanya pada materi UUD, melainkan juga bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD. Yuliandri menilai UU OJK selain mengatur pengawasan industri jasa keuangan, juga berhubungan dengan perekonomian nasional. Oleh sebab itu, UU OJK juga memiliki pijakan pada Pasal 33 UUD 1945.
Transparan dan Independen
Terkait independensi OJK, Yuliandri berpendapat independensi sebuah lembah lembaga dapat diukur melalui penegasan kemandirian lembaga tersebut dalam UU, proses pengisian anggotanya yang melibatkan lembaga eksekutif dan legislatif, kepemimpinan lembaga bersifat kolektif kolegial, serta jaminan kebebasan dari kontrol atau pengaruh lembaga eksekutif. Menurutnya, independensi OJK tidak akan terpengaruh meskipun anggaran pembiayaan OJK juga berasal dari pungutan pelaku industri jasa keuangan. Untuk menjelaskan kemandirian lembaga negara meski melakukan pungutan, Yuliandri memberikan contoh pungutan biaya perkara di Mahkamah Agung yang tidak mempengaruhi independensi MA dalam membuat putusan.
Sementara ahli ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Wihana Kirana Jaya yang juga diajukan Pemerintah mengatakan, kekhawatiran permasalahan independensi OJK tidak perlu dikhawatirkan. Sepanjang OJK dikelola secara tranparan, OJK akan sulit memunculkan keberpihakan OJK kepada pihak-pihak tertentu, meskipun salah satu sumber pembiayaan OJK bersumber dari pungutan kepada pelaku jasa keuangan.
Sedangkan ahli hukum bisnis UGM, Nindyo Pramono mengatakan, pembentukan UU OJK dilatarbelakangi oleh latar belakang terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998. Oleh karenanya, Nindyo menilai, pola pengawasan industri keuangan oleh OJK diharapkan bisa menciptakan sistem keuangan yang lebih stabil, teratur, kompetitif dan kredibel. “Saat krisis 1998 semua pihak menyalahkan Bank Indonesia karena dinilai tidak melakukan pengawasan yang maksimal. Dan hal ini yang melandasi dibentuknya OJK,” ungkap Nindyo. Menutup penjelasannya, Iapun menegaskan, kehadiran pengawasan sektor industri jasa keuangan melalui keberadaan OJK bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat pengguna industri jasa keuangan.
Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Rabu (17/12), untuk mendengarkan keterangan saksi yang diajukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pihak terkait dalam perkara ini. (Ilham)