Rumusan dalam Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Pilkada) dinilai berpotensi merugikan hak konstitusional setiap warga negara yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah dan/atau memilih kepala daerah.
Hal tersebut yang menjadi salah satu dalil permohonan yang diajukan oleh anggota DPRP Papua Yanni. Dia mengatakan aturan Pasal 203 ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati dan walikota yang diangkat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati dan walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya”
Wakil kepala daerah yang otomatis menjadi Kepala Daerah tersebut dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepala daerah apabila mekanisme pergantian tanpa melalui proses pemilihan demokratis sebagaimana yang amanatkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ayat (4).
“Menurut Pemohon, pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung melalui mekanisme pilkada,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Syahrul Arubusman dalam sidang perdana perkara nomor 130/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (17/11).
Aturan tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mengabaikan hak politik rakyat. Rumusan itu juga sangat merugikan Pemohon karena telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang memiliki potensi untuk dipilih sebagai kepala daerah dan/atau memilih kepala daerah dalam kedudukannya sebagai warga negara sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Oleh karena itu, dalam provisi, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan kepada pemerintah untuk sementara waktu menunda proses pengisian kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota sampai adanya putusan MK dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap, memerintahkan kepada DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, untuk menunda pengusulan pengisian kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi
“Dalam pokok perkara, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 245, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujarnya
Perjelas Permohonan
Menangapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan sistematika permohonan sudah cukup bagus. Kendati demikian, Maria menyarankan pemohon untuk memperjelas permohonannya. Ketika Kepala Daerah diberhentikan atau mundur dari jabatannya, Pemohon perlu menjelaskan mekanisme pemilihan kepala daerah selanjutnya, apakah pemilihan kembali berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU Pilkada atau melalui DPRD. “Itu yang tidak jelas permohonan ini. Jadi itu diuraikan secara lebih jelas, sehingga yang dimaksud itu apa? Kok, bolak-balik Pasal 18 ayat (4), apakah kemudian kembali pemilihan lagi, begitu ya,” ujarnya.
Terkait petitum, Maria menjelaskan petitum MK tidak biasa membuat provisi, kecuali dalam hal betul-betul keadaan itu memang diperlukan. Maria juga mengatakan MK tidak memiliki kewenangan untuk memerintah presiden. “Jadi provisinya nanti dalam pokok perkara, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” jelasnya. (Lulu Hanifah)