Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana tujuh perkara pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat, salah satu Pemohon, yakni pemohon perkara nomor 119/PUU-XII/2014, Heriyanto mengatakan alasan menguji materi Perpu tersebut, yakni secara filosofis, presiden telah gagal mengeluarkan Perpu karena presiden adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang ketika itu menjadi partai penguasa di DPR. “Seharusnya secara legal policy bisa membuat kreativitas untuk menggolkan Undang-Undang Pemilihan Kada secara langsung,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (12/11).
Lebih lanjut, Pemohon mengatakan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini, mematikan dan menghidupkan kembali hak calon perseorangan. Hal tersebut terkait dengan legal policy yang dimiliki presiden dan DPR telah mematikan dan menghidupkan putusan MK secara sewenang-wenang. Pasalnya, MK melalui Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 telah menghidupkan calon perseorangan. “Jadi, calon perseorangan di dalam pemilihan kepala daerah tidak hidup dari legal policy, tetapi dari putusan MK,” jelasnya.
Terkait dengan itu, Presiden menandatangani UU 22/ 2014 yang secara otomatis mematikan hak calon perseorangan, kemudian menghidupkan kembali melalui di dalam Perpu. “Ketika presiden menandatangani UU 22/2014, presiden telah menjadi malaikat pencabut nyawa dari hak-hak konstitusional yang lahir dari putusan MK, sedangkan ketika presiden menerbitkan Perpu, seakan-akan presiden adalah Sinterklas yang memberikan hadiah atas kekisruhan di tengah masyarakat karena pemilihan oleh DPRD,” ungkapnya.
Pilkada di DPRD Sudah Tepat
Kedua, pembentukan Perpu dinilai cacat formil karena tidak memenuhi tiga alasan untuk presiden mengeluarkan Perpu. Pertama, kebutuhan mendesak, kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada, dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang.
Sedangkan pemohon perkara Nomor 118/PUU-XII/2014, Victor Santoso Tandiasa sebagai perwakilan dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi mengatakan permohonannya mengacu pada Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 mengenai kewenangan MK dalam menangani sengketa Pilkada. “Di situ Mahkamah Konstitusi secara tegas mengatakan bahwa Pilkada bukan rezim Pemilu, oleh karenanya MK tidak berwenang menangani sengketa Pilkada,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengamanatkan bahwa Pilkada diselenggarakan melalui mekanisme perwakilan di DPRD sudah tepat karena telah membedakan antara rezim Pilkada dengan rezim Pemilu. Namun, Perpu yang dikeluarkan menyatakan penyelenggaraan Pilkada dalam Perpu menggunakan Komisi Pemilihan Umum. Padahal, pemohon menilai KPU diatur oleh konstitusi sebagai lembaga independen yang menyelenggarakan Pemilu yang lima tahun sekali, yakni Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, dan DPRD.
“Artinya secara limitatif, konstitusi sudah mengatur bahwa KPU hanya untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang diselenggarakan secara lima tahun sekali dengan hanya untuk menyelenggarakan DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, bukan kepala daerah,” tegasnya.
Mengacu kepada aturan norma hierarki di bawah dari konstitusi, saat DPR mengesahkan UU 22/2014 tentang Pilkada, dalam Pasal 70 dinyatakan bahwa saat undang-undang itu berlaku, segala pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 telah dinyatakan dicabut.
Kendati undang-undang tersebut dicabut oleh perpu, namun Pemohon menilai aturan yang sudah dicabut tidak dapat dihidupkan kembali walaupun aturan yang mencabut itu dicabut oleh aturan yang lain. “Nah, kami menganggap bahwa ketika pengaturan Pilkada sudah dicabut dalam Undang-Undang Pemilu, di situ kemudian sudah semakin menjelaskan bahwa Pilkada bukan rezim Pemilu. Artinya KPU tidak berwenang untuk menangani menyelenggarakan Pemilu,” jelasnya.
Oleh karena itu, Pemohon menganggap pemberlakuan perpu dipaksakan, dan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi penyelenggaraan Pilkada oleh KPU secara konstitusionalitas norma. “Nah, ini yang kemudian menjadi kekhawatiran kami ke depan dari forum kajian hukum dan konstitusi,” ujarnya. (Lulu Hanifah/mh)