Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap ketentuan Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbendaharaan Negara yang dimohonkan oleh Anton Ali Abbas (Dosen Terorisme di Universitas Pertahanan) dan Aan Eko Widiarto (Dosen Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya). Sidang pengucapan putusan Perkara No. 95/PUU-XI/2013 itu digelar Selasa (11/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah menyatakan sesuai fungsinya, Menteri Keuangan berhak melakukan pembintangan pada anggaran meski sudah disetujui DPR.
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya, baik secara potensial maupun faktual, akibat berlakunya kedua pasal tersebut. Sebab, Pemohon melihat kewenangan yang dimiliki Menteri Keuangan untuk mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran seperti yang termaktub dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.
Pemohon berargumentasi bahwa seharusnya anggaran yang sudah disetujui DPR tidak lagi memerlukan pengesahan dokumen lagi dari Menteri Keuangan. “Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk pembintangan (anggaran, red). Dengan kewenangan itu, ada anggaran yang belum bisa disahkan karena masih dibintangi oleh Menteri Keuangan padahal semua prosedur untuk mengesahkan anggaran sudah dilaksanakan. Sehingga, kewenangan tersebut juga kami anggap bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945,”ujar M. Choirul Anam selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang perdana perkara ini yang digelar pada tanggal 27 November 2013.
Usai melalui serangkaian sidang dan pemeriksaan bukti-bukti, Mahkamah menyatakan sesuai fungsinya sebagai Bendahara Negara, Menteri keuangan berwenang melakukan pembintangan pada anggaran. Tindakan tersebut menurut Mahkamah dibenarkan oleh Konstitusi sebab Menteri keuangan sebagai bendahara Negara berfungsi sebagai pelaksana pengelolaan keuangan negara. Menteri keuanganlah yang mengetahui kondisi keuangan negara apakah memungkinkan mencairkan anggaran atau tidak. Meski demikian, Mahkamah menyatakan presidenlah yang harus menyelesaikan masalah bila dengan kewenangan tersebut menteri keuangan berselisih dengan kementerian lainnya.
Terkait kekhawatiran Pemohon akan adanya penyalahgunaan kewenangan oleh menteri keuangan dengan melakukan praktik pembintangan, Mahkamah berpendapat hal tersebut sebenarnya dapat dihindari. Salah satu cara untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan yaitu dengan adanya pengawasan oleh DPR maupun lewat pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang mandiri.
Selain itu, Mahkamah justru berpendapat kewenangan menteri keuangan untuk membintangi anggaran merupakan salah satu bentuk prinsip kehati-hatian. Dengan kata lain, kewenangan tersebut justru dapat menjamin kepastian hukum bagi menteri keuangan sebagai pelaksana keuangan negara maupun bagi warga negara Indonesia. Berdasar pertimbangan tersebut, Mahkamah menyimpulkan pokok permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Hamdan Zoelva membacakan amar putusan Mahkamah dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya. (Yusti Nurul Agustin)