Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dimohonkan oleh Heru Cahjono ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut MK, masalah yang dipersoalkan oleh Pemohon terkait dengan implementasi norma dan persoalan upaya memperoleh informasi publik. Selain itu, ketentuan yang dimohonkan oleh Pemohon tersebut tidak terbukti telah melanggar hak konstitusional Pemohon.
Pada sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, MK dalam pertimbangannya menilai telah diatur dalam Pasal 13 UU Pengadaan Tanah bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui beberapa tahapan, yaitu: perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Selanjutnya, dalam Pasal 15 dan Pasal 16 telah diatur mengenai instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah dengan harus melaksanakan: pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dan konsultasi publik rencana pembangunan. Mahkamah berpendapat, ketiga hal tersebut dilaksanakan dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati.
Mahkamah melihat, apabila dalam proses konsultasi publik masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat yang kemudian gubernur tersebut membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan dimaksud yang bertugas: menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan, melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan, dan membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan.
Berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi di atas, gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan. Berdasar ketentuan itu, Mahkamah menilai, apabila keberatan tersebut ditolak, gubernur menetapkan lokasi pembangunan dimaksud dan terhadap penetapan tersebut, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Dengan adanya ketentuan tersebut, Mahkamah menilai Pemohon yang berprofesi sebagai dokter itu merupakan peserta konsultasi publik rencana pengadaan tanah Kepatihan Pemerintah D.I. Yogyakarta, di Komplek Kepatihan di sepanjang Jalan Suryatmajan. Pemohon sebagai pemegang hak guna bangunan yang terkena dampak rencana pengadaan tanah tersebut, menurut Mahkamah merupakan pihak yang berhak untuk menyatakan tidak mendapat kepastian hukum dan diperlakukan secara diskriminatif karena kesulitan memperoleh data/dokumen, terkait proses pengadaan tanah di atas yang akan dapat dipergunakan oleh Pemohon untuk mengajukan gugatan ke PTUN apabila masih terdapat keberatan terhadap proses pengadaan tanah tersebut.
Dengan adanya ketentuan bagi pihak yang masih berkeberatan dapat mengajukan gugatan ke PTUN, Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan akan lebih baik hal terebut dilakukan oleh Pemohon, karena prinsip pengadilan adalah tidak memihak dan lebih adil dari pada hanya dengan mengajukan keberatan yang menyebabkan salah satu pihak dalam hal ini gubernur.
Penyerahan penyelesaian akhir menurut putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas suatu sengketa, dalam hal ini sengketa mengenai diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dinilai Mahkamah justru mencerminkan ciri negara hukum yang tidak menghendaki adanya main hakim sendiri.
Dalam akhir bagian pertimbangan, Mahkamah melihat apa yang dipersoalkan Pemohon terkait dengan implementasi norma dan persoalan upaya memperoleh informasi publik sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang kebebasan informasi publik. Dengan pertimbangan tersebut, maka Mahkamah berpendapat ketentuan yang dimohonkan oleh Pemohon tersebut tidak terbukti telah melanggar hak konstitusional Pemohon.
Sebelumnya, Heru Cahjono mempersoalkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi “Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak”, serta Pasal 21 ayat (6) yang menyatakan, gubernur berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan. Heru menilai pasal tersebut merugikan warga yang wilayah tempat tinggalnya terkena proyek pengadaan tanah, karena sulit untuk mendapatkan informasi dokumen terkait proyek tersebut. (Ilham/mh)