Pemerintah memberikan tanggapan terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan UU Kehutanan yang dimohonkan organisasi lingkungan hidup dan petani. Tanggapan tersebut disampaikan Mualimin Abdi selaku Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham dan Soni Partono selaku Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Hutan pada sidang perkara No. 95/PUU-XII/2014 yang digelar Selasa (4/11) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Lewat tanggapan yang disampaikan keduanya, Pemerintah menyatakan masyarakat adat yang memanfaatkan hasil hutan bukan untuk tujuan komersil tidak dikenai sanksi pidana.
Mengawali paparannya, Mualimin menyampaikan landasan filosofis dari kedua undang-undang tersebut yang dimohonkan untuk diuji oleh sepuluh Pemohon tersebut. Mualimin mengatakan, penyelenggaraan kehutanan dilakukan sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu pulalah penyelenggaraan kehutanan di Indonesia senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan berkeadilan dan berkelanjutan.
Meski demikian, penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan. Tetapi, negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Sedangkan terkait dengan landasan filosofi UU P3H, Mualimin mengatakan bahwa hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia. Tidak heran bila keberadaan hutan Indonesia menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung, serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat.
Terkait dengan maraknya perusakan hutan, Mualimin mengungkapkan upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan meski belum berjalan secara efektif dan belum menunjukan hasil yang optimal. Hal itu isebabkan kurang tegasnya peraturan perundang-undangan yang ada untuk mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi.
“Undang-Undang P3H menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh satu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas dua orang atau lebih dan yang bertindak secara bersama-sama pada satu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk di dalamnya adalah kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial,” jelas Mualimin.
Sementara itu Sonny Partono mengatakan bahwa dalil Pemohon yang mempersoalkan definisi kawasan hutan yang ditunjuk pada Pasal 81 UU Kehutanan tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut disebabkan putusan MK No. 45/PUU-IX/2011telah menyatakan kawasan hutan yang ditunjuk sebelum putusan Mahkamah Konstitusi masih mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat sebagai kawasan hutan. Sehingga, setiap tindak pidana perusakan hutan yang terjadi pada kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan atau dalam proses penetapan tetap dapat diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang P3H.
“Pemerintah berpendapat ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang PPPH telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan karenanya ketentuan Pasal (1) angka 3 Undang-Undang P3H tidak bertentangan dengan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Sonny.
Terkait masyarakat adat yang memanfaatkan hasil hutan, Sonny mengatakan masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat tradisional, antara lain parang, mando, golok, atau alat sejenisnya sesuai dengan tradisi, budaya, karakteristik daerah setempat, dikecualikan untuk dikenakai sanksi pidana. Pengecualian tersebut menurut Sonny sudah dicantumkan sebagai Penjelasan Pasal 12 huruf f Undang-Undang P3H. (Yusti Nurul Agustin/mh)