Tidak adanya ketentuan pembatasan mengenai berapa periode jabatan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipersoalkan oleh tiga orang warga Jawa Tengah, Song Sip, Sukarwanto dan Mega Chandra Sera.
Dalam sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif), Selasa (4/11), salah satu Pemohon dalam perkara 114/PUU-XII/2014 ini, Song Sip, menjelaskan tidak adanya pembatasan masa jabatan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga nampak seperti mau menang sendiri serta otoritas yang tidak terbatas. Song Sip mengatakan hal tersebut berbeda dengan masa jabatan eksekutif, “Presiden dibatasi masa jabatannya sebanyak dua periode, demikian juga gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang dibatasi jabatannya selama dua periode,” ujar pria yang berprofesi sebagai advokat itu.
Kepada majelis hakim konstitusi, Pemohon meminta kepada MK agar persyaratan pencalonan anggota legislatif dalam UU Pemilu Legislatif ditambah, yaitu bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan, “belum pernah menjabat sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Sementara bagi bakal calon anggota DPD pemohon juga meminta kepada MK agar ditambahkan syarat yaitu: “belum pernah menajabat sebagai anggota DPD selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang memimpin persidangan memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperjelas kedudukan hukumnya. “Apakah kemudian pasal-pasal yang Anda mohonkan itu mempunyai kaitan dengan anda sendiri, ada hubungan konstitusionalitas antara pasal yang anda mohonkan dengan kerugian Anda,” ujar Maria. Menurut Maria, berdasar putusan MK, Pemohon harus dapat menunjukkan kerugian konstitusionalitas akibat berlakunya suatu pasal dalam suatu UU. Maria menilai hubungan Pemohon dengan pasal yang diuji belum ada, dan meminta Pemohon untuk memperjelas kerugian konstitusionalnya, baik yang bersifat potensial atau pun telah terjadi.
Hal senada disampaikan oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat dalam nasihatnya. Arief melihat Pemohon belum mengeksplorasi kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan ini. Arief juga memberikan nasihat, Pemohon belum menjelaskan lebih jauh alasan permohonan. “Di dalam pokok permohonan atau dalam posita anda kurang mengeksplorasi dan mengelaborasi lebih jauh, kenapa saudara berkebaratan kok kenapa tidak dibatasi,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu. Menurut Arief, argumentasi Pemohon dalam alasan permohonan masih sumir. Menurutnya, Pemohon harus mampu meyakinkan Majelis Hakim Konstitusi agar permohonan tersebut dapat diterima dan dikabulkan. Arief juga meminta kepada Pemohon untuk memperdalam aspek sosiologis dan aspek filosofis untuk memperkuat argumentasi permohonan.
Sementara Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi melihat apa yang dipersoalkan Pemohon merupakan masalah legislasi dan bukan masalah konstitusionalitas norma. “Apa ini bukan persoalan legislasi? Kalau ini soal legislasi urusannya ada di Senayan dan Merdeka Utara,” ujar Fadlil. Menurutnya, kalau ada norma yang perlu ditafsirkan Pemohon harus menunjukkan norma yang mana, sebab apa yang diminta Pemohon merupakan tambahan syarat bagi bakal calon anggota legislatif yang bukan ranah MK.
Berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pemohon diberi waktu 14 untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. (Ilham/mh)