Tiga orang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mangkir dari sidang perdana perkara dengan nomor 107/PUU-XII/2014.
Dibuka pada pukul 13.50 WIB, Ketua Majelis Hakim Patrialis Akbar menyayangkan mangkirnya tiga orang wakil rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut, padahal sidang sengaja ditunda selama 20 menit untuk menunggu kehadiran pemohon. Ketiganya adalah Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, dan Henry Yosodiningrat.
“Setelah sidang ditunda 20 menit, Pemohon tidak hadir. Juga tidak ada surat tertulis untuk menyatakan halangannya. Kalau dilihat ketiga Pemohon ini adalah anggota DPR dan MPR, semestinya mereka lebih paham bagaimana tata krama dalam persidangan,” ujar Patrialis didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (22/10).
Dia menilai, ketidakhadiran tanpa memberikan pernyataan tertulis sangat tidak pantas karena MK merupakan lembaga resmi yang seharusnya dihormati. “Ini sebagai catatan penting. Tiga orang anggota DPR mengajukan permohonan tapi tidak sungguh-sungguh dan tidak serius dengan permohonannya,” tegasnya.
Pada permohonannya, Pemohon menyoal tentang Pasal 15 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan:
” Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”..
Para Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU tersebut. Sebagai anggota MPR, Pemohon tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi Pimpinan MPR. Pemohon menilai, sistem dalam pemilihan pimpinan DPR yang mengharuskan minimal 5 fraksi berbeda membentuk satu paket, menyebabkan hak para Pemohon untuk memilih telah dihilangkan. Pasalnya, fraksi asal Pemohon, yakni PDI Perjuangan tidak dapat membentuk paket karena kekurangan satu fraksi.
Lebih lanjut, Pemohon menilai pemilihan Pimpinan MPR dalam satu paket mengakibatkan tidak ada otonomi anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 huruf c UU 17/2014, yaitu anggota MPR berhak dipilih dan memilih. Melalui sistem paket, esensi pemilihan berada pada pilihan fraksi. Selain itu, menurut Pemohon, pemilihan pimpinan MPR dengan sistem paket telah bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)