Perjuangan sejumlah aktivis perempuan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbuah manis. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan mereka lewat pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) tentang keterwakilan perempuan di kursi pimpinan alat kelengkapan DPR.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan perkara nomor 82/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (29/9).
Dengan demikian, pasal-pasal yang diujikan, yakni Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditambah dengan frasa “dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”. Melalui putusan tersebut, MK menguatkan keterpilihan perempuan untuk menduduki kursi pimpinan alat kelengkapan DPR, yakni Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan Panitia Khusus.
Dalam pertimbangannya, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terkait hak-hak politik perempuan dan berbagai ketentuan Undang-Undang, kebijakan politik affirmative action terhadap perempuan telah menjadi kebijakan politik hukum negara sebagai upaya memberi kesempatan yang setara kepada kelompok masyarakat tertentu. “Para pembentuk kebijakan dalam setiap tingkatan harus mengeluarkan aturan yang memberi kesempatan kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara sosial agar bisa berada pada tingkat yang setara,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Aturan tersebut merupakan cerminan dari semangat Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Lebih lanjut, menurut MK, keterwakilan perempuan dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR merupakan bentuk perlakukan khusus terhadap perempuan yang dijamin oleh konstitusi. Penghapusan politik hukum pengarusutamaan jender dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi kaum perempuan. Pasalnya, perubahan ketentuan yang demikian dapat membuyarkan seluruh kebijakan affirmatif yang telah dilakukan pada kelembagaan politik lainnya.
Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, politik afirmatif perempuan telah diakomodasi sebagai norma hukum, sedangkan dalam UU 17/2014 hal itu dihapus. “Menurut Mahkamah, kebijakan yang demikian adalah kebijakan yang melanggar prinsip kepastian hukum yang adil. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Sedangkan untuk petitum Pemohon yang meminta MK menambahkan frasa “kewajiban memenuhi keterwakilan perempuan”, merujuk pada Putusan Nomor 20/PUU-XI/2013, bertanggal 12 Maret 2014, MK telah mempertimbangkan bahwa frasa “memperhatikan” telah diubah menjadi “mengutamakan” dengan alasan bahwa frasa “mengutamakan” memiliki makna yang lebih kuat daripada frasa “memperhatikan”, sehingga lebih sungguh-sungguh memperhatikan keterwakilan perempuan. Permohonan para Pemohon yang menggunakan frasa “kewajiban” tersebut dinilai dapat menyulitkan pemenuhannya dalam praktik sehingga permohonan tersebut tidak beralasan hukum.
Pada pokok permohonannya, Pemohon menguji norma Pasal Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut merugikan hak konstitusionalnya karena kesempatan Pemohon sangat kecil untuk dapat menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR ketika Pemohon menjadi anggota DPR.
Pemohon juga mendalilkan dengan diberlakukannya UU tersebut, perjuangan Pemohon untuk mendorong kebijakan yang telah disusun maupun kedepannya terkait dengan kepentingan perempuan dalam parlemen semakin sulit. Lahirnya pasal dan frasa dalam Undang-Undang a quo juga telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas Pemohon untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam kondisi ketidak berimbangan laki-laki dan perempuan di parlemen mendapatkan posisi politik sebagaimana diamanahkan UUD 1945. (Lulu Hanifah)