Sidang uji materi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi dengan nomor 73/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh PDI Perjuangan (diwakili oleh Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo) beserta empat orang perseorangan warga negara (Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto).
Dalam sidang kedua tersebut, para Pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Andi M. Asrun selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan beberapa perbaikan terkait dengan persoalan kerugian konstitusional, serta memperkuat tentang kedudukan hukum. “Kemudian kami beri perspektif supaya lebih dalam kerangka teori yang antara lain beberapa pakar yang lain termasuk Prof. Maria Farida kami kutip, karena beliau memang salah satu penulis buku teks ilmu perundang-undangan dan juga kami coba untuk mempertajam kembali soal-soal yang diberikan nasihat Yang Mulia dan kami juga pertajam persoalan alasan-alasan formil dan alasan-alasan materiil pengajuan undang-undang a quo,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Pemohon dengan Nomor 73/PUU-XII/2014 ini juga merevisi petitum permohonannya. Pemohon menjelaskan memperbaiki petitumnya karena ada kesepakatan dari koalisi perempuan bahwa komposisi pimpinan komisi dan perlengkapan dewan diserahkan pada mekanisme yang sudah ada sebelumnya. “Jadi, untuk menggambarkan bahwa Pemohon ini tidaklah serakah untuk kekuasaan, tapi lebih pada adil. Jadi, kami mau koreksi sistem yang telah menyimpang ini,” tutur Asrun.
Pemohon pun meminta agar MK menjatuhkan sebuah putusan sela dikarenakan situasi kondisi DPR yang semakin kisruh. “Kiranya kalau memang ada putusan sela kami mohon agar ada putusan sela karena ini sudah mulai situasinya agak kisruh dengan tata tertib yang dibuat bersandarkan pada undang-undang diuji seharusnya DPR menghargai forum ini menghentikan segala macam upaya yang mengacu pada undang-undang yang diuji,” tuturnya.
Masih Diperlukan
Sementara itu, Pemohon Nomor 82/PUU-XII/2014 yang diwakili oleh Veri Junaidi selaku kuasa hukum menjelaskan juga telah memperbaiki permohonan terutama terkait dengan argumentasi tentang keterwakilan perempuan. “Ada data yang kami lengkapi di dalam permohonan ini yang menunjukan bahwa pengaturan tentang keterwakilan perempuan masih diperlukan mengingat dari segi angka sekalipun keterwakilan perempuan di Indonesia juga masih belum memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, PDIP dkk mendalilkan pemberlakuan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 merugikan hak konstitusionalnya selaku pemenang Pemilu. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tersebut mengatur bahwa pemangku jabatan-jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR dan tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan porsi perolehan kursi seperti diatur dalam Pasal 82 UU Nomor 27 tahun 2009 (UU MD3 sebelum diganti). Adapun jabatan-jabatan yang diatur dalam pasal tersebut yaitu pimpinan Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Pemohon juga menjelaskan pembuatan ataupun pembahasan pasal-pasal yang dimintakan pengujian ini, bertentangan dengan tata tertib DPR serta jika merujuk pada ilmu perundang-undangan, maka suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek filosofis, sosiologis, dan politik. “Kami mohon kiranya ada penundaan terhadap berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini, terutama menyangkut Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 sampai Mahkamah memberikan putusan karena penundaan a quo akan menghilangkan potensi kerugian konstitusional para Pemohon,” urainya.
Sementara perkara nomor 82/PUU-XII/2014 dimohonkan oleh lima orang warga negara (Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Aida Vitayala, Yuda Kusumaningsih, dan Lia Wulandari) yang bertindak sebagai perseorangan serta tiga badan hukum privat (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Perkumpulan Mitra Gender). Kesemuanya menggugat Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU MD3 yang dinilai telah secara terstruktur menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam UU MD3 sebelum diganti, khususnya klausula yang berbunyi “dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”.
Dalam permohonannya, para Pemohon yang diwakili oleh Veri Junaidi, mengakui bahwa konstitusi tidak secara eksplisit mengatur tentang kuota keterwakilan perempuan. Para Pemohon menilai penghapusan seluruh klausula keterwakilan perempuan dalam UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian, Pemohon juga merasa mengalami kerugian konstitusional karena kesempatan bagi Pemohon sangat kecil untuk dapat menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR ketika Pemohon menjadi anggota DPR-RI. Selain itu, ruang bagi Pemohon untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan, dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR-RI akan sangat terbatas karena adanya dominasi politik dari anggota DPR lainnya. (Lulu Anjarsari/mh)