Pemohon pengujian formil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak hadir dalam persidangan.
Sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan anggota Maria Farida Indrati dan Anwar Usman beragendakan perbaikan permohonan. Namun, baik pemohon prinsipil maupun kuasa hukumnya tidak hadir dan tidak ada konfirmasi. “Baik dengan tidak hadirnya kuasa atau pemohonnya pada agenda persidangan hari ini yang mestinya pemeriksaan perbaikan pendahuluan. Sidang dianggap selesai dan dinyatakan ditutup,” ujar Wahiduddins pada sidang perkara nomor 60/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (10/9).
Permohonan yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (MHJ), Wahyu Nugroho selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, dan Denny Rudini selaku Advokat dilatarbelakangi pandangan Pemohon yang menilai sebagian besar isi KUH Perdata merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda, oleh para pemohon dianggap sudah usang dan justru menimbulkan kebingungan bagi para mahasiswa maupun dosen yang mengajarkan Ilmu Hukum Perdata.
Dalam persidangan perdana, Wahyu Nugroho sebagai Pemohon mengatakan KUH Perdata yang selama ini digunakan, baik dalam ruang perkuliahan maupun praktik hukum, memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Sayangnya, KUH Perdata masih bersifat materiil melalui keputusan Pemerintah Hindia-Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad No. 23 Tahun 1847 dan isinya mengikat langsung kepada setiap penduduk.
Selain itu, KUH Perdata juga dianggap secara formil jauh dari nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi sumber segala sumber hukum negara Indonesia. Dalam proses perkuliahan, imbuhnya, semua fakultas hukum masih berkiblat kepada Burgerlijk Wetboek (BW) yang dianggap sudah tidak relevan lagi untuk dipakai sebagai pegangan dosen maupun mahasiswa. (Lulu Hanifah/mh)