Aturan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berpotensi menimbulkan ketidaktenangan dan keraguan dokter dalam melaksanakan tugasnya dan dapat menimbulkan defensive medicine, suatu bentuk praktik kedokteran ketika seorang dokter sangat memperhitungkan langkah-langkah aman bagi dirinya agar tidak gampang dipersalahkan atau dituntut pasien.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menjelaskan seorang dokter memiliki kewajiban etik dan kewajiban profesional untuk memberikan pelayanan kedokteran atau menolong pasien. Kewajiban etik dan kewajiban profesional tersebut pun mengharuskan dokter untuk melakukan upaya yang maksimal dalam menolong pasien tanpa memilih-milih kondisi pasien, apakah kondisi pasien bisa disembuhkan atau diselamatkan atau kondisi pasien tersebut sangan kecil harapannya untuk diselamatkan. Hal tersebut menimbulkan kondisi dilematis bagi para dokter. “Kondisi dilematis ini membuat dokter menjadi profesi yang rawan untuk dipersalahkan, bahkan rawan untuk digugat atau dituntut secara hukum oleh masyarakat atau pasien,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (4/9).
Menurutnya, negara seharusnya memberikan perlindungan kepada profesi dokter melalui UU Praktik Kedokteran di samping memberikan perlindungan pula kepada masyarakat atau pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. “Namun, yang kami rasakan dan alami, tampaknya UU Praktik Kedokteran justru memberikan peluang yang sangat besar bagi dokter untuk gampang diadukan, digugat, baik secara etik, pelanggaran disiplin, pelanggaran hukum sekaligus secara bersamaan sebagaimana tersebut pada Pasal 66,” imbuhnya.
Hadirnya UU tersebut, membuat beberapa dokter memilih tindakan defensive medicine yang sangat merugikan masyarakat, yakni memilih pasien yang memiliki kemungkinan besar untuk sembuh, atau dapat diselamatkan dan takut melakukan pertolongan terhadap pasien gawat darurat yang memiliki kemungkinan kecil bisa diselamatkan. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan selengkap-lengkapnya, malah terkadang pemeriksaannya tidak terlalu diperlukan, yang menyebabkan mahalnya biaya pengobatan, perawatan, agar tidak disalahkan oleh pasien. Terakhir, dokter akan menolak perawatan pasien karena fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Imbasnya, pasien terpaksa dirujuk yang dapat menyebabkan terlambatnya pertolongan tindakan medis yang dibutuhkan pasien.
Oleh karena itu, IDI memohon kepada MK agar memberikan ketetapan hukum tentang prosedur hukum yang khusus dalam menilai dan menentukan benar salahnya seorang dokter dalam menjalankan profesinya, dengan memberlakukan proses pemeriksaan yang berjenjang, dimulai dari proses pemeriksaan etik dan disiplin di MKEK dan MKDKI sebagai proses pemeriksaan tingkat pertama yang sekaligus berfungsi sebagai penilai apakah ada pelanggaran hukum atau tidak. “Apabila dari hasil pemeriksaan di MKEK dan MKDKI ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka akan diteruskan atau diserahkan kepada kepolisian atau pengadilan,” imbuhnya.
Sinkronisasi
Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwy mengatakan penegakan di dalam dunia kedokteran terbagi menjadi tiga, yakni penegakan di bidang etik, penegakan di bidang disiplin keilmuan kedokteran dengan MKDKI sebagai penegaknya, dan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang.
Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan dokter, MKDKI menilai pelanggaran yang dilakukan dokter ketika melakukan tindakan kedokteran dibagi dua. Pertama, pelanggaran dokter yang disengaja dengan niat membunuh orang atau memberikan kecacatan. “Itu murni kita lihat dalam suatu konteks kriminal. Itu tidak masuk dalam kategori malpraktik dan sebagainya,” ujarnya .
Lebih lanjut, ada pelanggaran yang dilakukan dokter karena lalai meninggalkan aturan-aturan standar kedokteran, benar-benar menyimpang dari aturan-aturan itu, atau tidak memenuhi aturan standar karena bukan kompetensinya. “Sehingga kalau kita menemukan suatu dokter yang betul-betul pelanggaran itu dilakukan secara hukum, kami tidak akan menanggani. Tetapi, kalau dalam konteks yang kedua, MKDKI akan memprosesnya,” imbuhnya.
Dikaitkan dengan Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, Sabir mengatakan perlu ada sinkronisasi di dalam hukum dan penerapannya agar tidak terjadi tumpang tindih. Apapun yang telah diputuskan oleh MKDKI, jelasnya, tidaklah serta merta itu merupakan pelanggaran hukum karena tolak ukurnya yang berbeda. Menurut MKDKI, Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran tidak ada pertentangan, justru mempertegas bahwa proses yang ada di MKDKI diakui sebagai proses penegakan disiplin, tapi proses penegakan hukum juga tetap berjalan. “Namun kalau menurut kami sinkronisasinya perlu kita lakukan agar nantinya proses itu bisa berjalan dan bisa menghasilkan suatu keadaan atau hasil yang benar-benar objektif,” ungkapnya.
Sebelumnya, Dokter Indonesia Bersatu menilai Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan konstitusi karena membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dengan penafsiran yang terlalu luas tersebut, membuat pelanggaran kedisiplinan sorang dokter menjadi kasus pidana. Hal ini juga menimbulkan ketakutan di kalangan dokter untuk mengambil tindakan terhadap pasien yang memiliki resiko tinggi tinggi ataupun untuk melakukan tindakan dalam keadaan darurat karena dapat dipersalahkan kelalaian yang dapat mengakibatkan kematian seseorang.
Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran berbunyi:
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang”
Para pemohon meminta MK agar menetapkan pasal tersebut menjadi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, dengan ketentuan dugaan tindak pidana dan/atau kerugian perdata itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata) dan/atau menimbulkan kerugian perdata”. (Lulu Hanifah/mh)