Anggota DPRD Kabupaten Nias mengajukan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara. Sidang perdana perkara No. 61/PUU-XII/2014 itu digelar pada Selasa (26/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Faigiasa Bawamenewi, Waonaso Waruwu, dan Aluizaro Telaumbanua hadir pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Faigiasa mewakili rekan-rekannya menyampaikan pokok-pokok permohonan dan alasan pengajuan uji materiil terhadap Pasal 3 ayat (1) UU Pembentukan Kabupaten Nias Barat. Ia menjelaskan dalam perencanaan pembentukan Kabupaten Nias Barat, ada beberapa kesepakatan yang dicantumkan. Salah satu kesepakatan dimaksud yaitu tidak memasukkan sejumlah desa di Kecamatan Lolofitu Moi.
Kesepakatan tersebut tercantum pula pada Formulir Isian Data Kelengkapan Calon Daerah Otonom Baru (Kabupaten Nias Barat) yang ditandatangani oleh Bupati Nias dan Ketua DPRD Kabupaten Nias. Dalam formulir tersebut diketahui Kecamatan Lolofitu Moi memiliki 13 desa. Namun, hanya ada delapan desa yang dimasukkan ke dalam Formulir Isian Data Kelengkapan Calon Daerah Otonom Baru (Kabupaten Nias Barat). Sedangkan lima desa sisanya tidak dicantumkan (diserahkan nama-namanya, red) ke dalam formulir tersebut. Kelima desa dimaksud, yaitu Desa Ehosakhozi, Desa Orahili Idanoi, Desa Awela, Desa Onombonai, dan Desa Lolofaoso.
Meski Kabupaten Nias Barat telah diresmikan menjadi daerah otonom, namun lima desa tersebut tetap menginginkan bergabung dengan Kabupaten Nias sebagai kabupaten induk. Kelima desa itu pun meminta tetap dilayani oleh sebagian Pemerintahan Kabupaten Nias dan Pemerintah Daerah Nias Barat . “Jadi selama ini persoalan anggaran terbagi dua. Ada di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat sehingga selama ini kalau kami (DPRD, red) menganggarkan anggaran untuk lima desa tersebut selalu diberi bintang terlebih dulu untuk menunggu kepastian hukum atas status kelima desa tersebut. Akibatnya, hak masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian terabaikan,” jelas Faigiasa.
Menanggapi permohonan Para Pemohon, Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Maria Farida Indrati dan dianggotai Ahmad Fadlil Sumadi serta Aswanto pun memberikan beberapa saran perbaikan. Maria misalnya, menyarankan Pemohon untuk meninjau kembali legal standing (kedudukan hukum) yang dipakai Para Pemohon untuk mengajukan uji materiil ketentuan ini. “Harus dijelaskan kembali apakah bapak-bapak bertindak sebagai perwakilan dari masyarakat Nias, sebagai pribadi, atau sebagai anggota DPR?” tanya Maria terkait kedudukan hukum atau legal standing Para Pemohon.
Hal serupa juga disampaikan Fadlil. Ia meminta agar Pemohon memikirkan kembali legal standing yang dipakai untuk mengajukan permohonan. “Misalnya, kalau sebagai ketua DPRD berarti kan mewakili DPRD-nya dengan persetujuan fraksi atau anggotanya langsung. Nah, kalau mewakili masyarakat kan perlu dipertimbangkan baik-baik. Ini kan ada kemungkinan mewakili rakyat Nias. Nias mana ini?” ujar Fadlil sembari menyontohkan.
Selain soal legal standing, permintaan atau petitum permohonan Pemohon juga menjadi fokus Panel Hakim. Maria menyarankan Pemohon memperbaiki bunyi petitum permohonan. Di dalam petitum permohonan Pemohon yang pertama dinyatakan meminta Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat bertentangan dengan UUD 1945. Namun, di petitum kedua, Pemohon justru meminta pasal tersebut diperbaiki. Menurut Maria hal tersebut tidak lazim. “Kalau ini sudah dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak perlu lagi langsung kemudian diperbaiki. Jadi pasal itu harus dimaknai seperti apa sehingga bisa konstitusional. Jadi tidak dinyatakan seperti ini ya,” saran Maria.
Sedangkan Fadlil meminta Pemohon menguraikan pertentangan norma yang diajukan untuk diuji dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. “Itu nanti permohonannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, apabila memasukkan kelima desa itu ke kabupaten yang baru. Di pokok permohonannya dijelaskan mengapa kalau masuk menjadi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Nah, itu yang harus dijawab di dalam pokok permohonan,” tukas Fadlil.
Sesuai ketentuan, Mahkamah memberikan waktu 14 hari bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Namun, saran yang disampaikan panel hakim tidak mutlak harus digunakan. Panel hakim hanya berkewajiban memberikan saran kepada Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)