Pemohon uji materi ketentuan pembatasan modal asing di sektor perbenihan dalam Undang-Undang Hortikultura menghadirkan saksi dan ahli pada sidang pembuktian yang digelar Rabu (16/7) di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK. Keterangan saksi dan ahli Pemohon menguatkan dalil Pemohon yang menyatakan pembatasan modal asing di sektor perbenihan merugikan para petani. Selain itu, para ahli Pemohon menyatakan pembatasan modal asing dapat menyebabkan Indonesia tergantung dengan produk hortikultura dari negara lain.
Kesaksian Saikad B. Saiban selaku petani hortikultura yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Tunas Mulya Desa Sukaresmi, Pandeglang, Banten mengawali sidang kali ini. Saikad mengaku sebelum menjadi petani hortikultura, ia menanam padi. Namun karena hasilnya tidak menguntungkan, ia beralih menjadi petani hortikultura.
Selama menjadi petani hortikultura, pendapatannya berangsur-angsur membaik. Terlebih ketika ia memakai bibit unggul produksi pabrik benih. “Selama ini perusahaan benih membantu petani. Dulu rumah saya dari gubuk sekarang sudah permanen, Yang Mulia” ujar Saikad sembari menyebutkan salah satu merek benih.
Saikad pun mengatakan kelompok tani hortikultura yang diketuainya kini telah beranggotakan kurang lebih 200 petani. Masing-masing petani pun memiliki sekitar lima orang pekerja. Dengan kata lain, Saikad mengatakan kelompok taninya maju berkat benih unggul buatan pabrik.
Keterangan Saikad diperkuat oleh Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional (DHN) yang juga ahli dalam pengembangan industri perbenihan hortikultura, Benny A. Kusbini. Di hadapan pleno hakim, Benny mengatakan Pasal 100 UU Hortikultura yang membatasi penanaman modal asing dalam sektor perbenihan telah merugikan petani dan mengancam masa depan bangsa, khususnya di sektor hortikultura.
Di saat pasar hortikultura dalam negeri sangat terbuka lebar, Benny beranggapan tidak arif bila penanaman modal asing di sektor perbenihan dibatasi hanya 30 persen saja. Sedangkan, sektor perbankan dan otomotif justru penanaman modal asing dibuka hingga 90 persen.
Lebih lanjut, Benny menyampaikan pengalamannya ketika berkunjung ke Thailand untuk menghadiri pameran hortikultura. Ia melihat Thailand begitu terbuka dalam industri hortikultura. Benny khawatir bila pembatasan tersebut dilanjutkan pada era pasar bebas, maka produk hortikultura Indonesia akan kalah bersaing dengan produk luar, terutama produk asal Tiongkok. “Nanti akhirnya konsumen lebik senang ambil dari China yang bisa kasih harga murah. Saya khawatir nanti di Indonesia masuk barang-barang hortikultura repacking dari China,” ujar Benny menyampaikan pengalamannya.
Benny pun berharap Indonesia jangan terlalu membatasi/menutup diri untuk memeroleh benih produk hortikultura dari asing hanya karena alasan nasionalisme sempit. “Saya ini lebih tinggi nasionalismenya karena saya tidak mau Indonesia digempur dengan barang asing. Lebih baik kita impor bibit dari luar yang research and development-nya sudang baik, dibanding kita harus impor produk holtikuluta dalam bentuk jadi,” tegas Benny mengakhiri paparannya.
Pendapat Benny pun dibenarkan oleh Direktur Pasar Komoditas Nasional Indonesia (Paskomnas), Soekam yang juga hadir memberikan keahliannya. Soekam mengatakan produk hortikultura memiliki waktu yang pendek atau cepat rusak. Karena itu, pasar/konsumn lebih memilih produk yang memiliki kualitas unggul. Agar petani dapat memenuhi keinginan pasar tersebut, menurut Soekam petani harus menghasilkan produk yang tepat guna dan tepat jenis. Tidak heran kemudian bila petani hortikultura saat ini lebih menyenangi benih pabrikan. Sebab, hasil produk hortikulturanya lebih disukai konsumen.
Soekam pun melengkapi keterangannya dengan data jenis-jenis produk hortikultura unggulan yang laku di pasaran. “Minggu lalu masuk kubis dari China sebanyak dua kontainer. Dalam waktu satu malam habis tidak berbisa. Harganya hanya 1.800 rupiah per kilogram, Sedangkan kubis lokal harganya 2000 lebih per kilogram. Nah, kalau pertanian hortikultura kita tidak bisa bersaing, dalam waktu dekat akan habis,” tukas Soekam.
Dalil Pemohon pun kembali diperkuat dengan keahlian Gleen Pardede selaku Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia dan ahli di bidang industri pemuliaan benih hortikultura. Dengan mengambil contoh di Thailand, Gleen mengatakan ada 300 jenis persilangan produk hortikultura di Thailand. Dengan banyaknya persilangan tersebut menyebabkan pencarian varietas unggul jadi lebih mudah. Tidak heran bila kemudian Thailand menghasilkan berbagai produk hortikultura unggulan yang laku di pasar internasional.
Namun, untuk melakukan proses persilangan diperlukan teknologi canggih yang memakan banyak biaya. Memahami keterbatasan itu, petani Indonesia pun lebih memilih membeli benih impor/pabrikan yang hasilnya sudah teruji cocok ditanam di Indonesia dan mengasilkan produk unggulan. Dengan menghasilkan produk unggulan, petani Indonesia pun mampu bersaing dalam memperebutkan pasar hortikultura di dalam negeri maupun luar negeri. (Yusti Nurul Agustin/mh)