Dosen Hukum Tatanegara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harjanti menilai penting status hakim ad hoc sebagai pejabat negara guna terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terlepas dari intervensi.
Hal tersebut disampaikan Susi dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sebagai ahli yang dihadirkan pemohon, ia menjelaskan seiring dengan perkembangan kebutuhan keadilan, dibentuk pengadilan khusus. Akibatnya, pengisian jabatan hakim pada pengadilan khusus tersebut mengalami pergeseran. “Posisi hakim tidak lagi hanya diisi oleh hakim karier, dibutuhkan orang-orang yang berpengalaman dan ahli sebagai hakim ad hoc,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (7/7).
Keberadaan hakim ad hoc diatur dalam UU untuk menegakkan hukum dan keadilan atas nama negara di samping hakim karier. Oleh karena itu, para hakim ad hoc, sambungnya, merupakan penegak hukum yang berstatus sebagai pejabat negara. “Maka konsekuensinya terhadap mereka berlaku pula jaminan yang sama dengan jaminan yang diberikan kepada hakim karier. Pasalnya, secara filosofis, yuridis, dan sosiologis tidak terdapat perbedaan yang nyata dari segi wewenang dan tugas antara hakim karier dan hakim ad hoc,” ujarnya.
Pengecualian Dianggap Tepat
Sedangkan pemerintah melalui keterangannya menilai pengecualian hakim Hakim ad hoc sebagai pejabat negara yang diatur dalam Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara sudah tepat. “Mengingat sifat dan masa hakim ad hoc yang terbatas,” ujar Ptl. Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Mualimin Abdi mewakili pemerintah.
Penjelasan hakim ad hoc dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang tertentu. “Adanya hakim ad hoc karena ada kebutuhan pada pengadilan khusus. Masa jabatan hakim ad hoc pun hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang satu kali,” jelasnya.
Sebelumnya, sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia menilai UU Aparatur Sipil Negara imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal a quo, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Pemohon dalam sidang perdana, Senin (7/4) silam.
Lebih lanjut, imbuh Pemohon, secara kelembagaan eksistensi hakim ad hoc merupakan condition sinequanon terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,” tandasnya.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. (Lulu Hanifah)