Tiga pemohon pengujian Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) memperbaiki permohonan sesuai nasihat majelis hakim pada persidangan sebelumnya.
Forum Pengacara Konstitusi dengan perkara teregistrasi nomor 50/PUU-XII/2014 sudah melengkapi bukti-bukti sesuai dalil yang dimohonkan. Pihaknya yang diwakili Andi Muhammad Asrun pun telah mengajukan dua saksi ahli dalam perkara tersebut, yakni mantan hakim konstitusi Prof. A.S. Natabaya dan Dr. Harjono.
Sementara permohonan dengan nomor perkara 51/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh LSM Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah menguatkan kedudukan hukum (legal standing) dan argumentasi permohonan yang menyangkut tiga hal. “Pertama, soal prinsip kedaulatan rakyat, kedua soal kepastian hukum, dan ketiga penafsiran dengan mengacu pada konstitusi yang hidup, bukan konstitusi yang kaku,” ujar kuasa hukum Perludem Wahyudi Djafar di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu (18/6). Perludem juga mengajukan dua orang ahli dalam persidangan berikutnya, yakni Prof. Saldi Isra dan Dr. Niko Haryatno.
Terakhir, Pemohon perseorangan yang diwakili Sunggul Hamonangan Sirait menegaskan telah memperbaiki format permohonan. “Kami telah mempertajam kerugian konstitusional kami sebagai Pemohon dan mempertajam dasar permohonan. Kemudian, kami juga sudah melampirkan daftar bukti, dan juga undang-undang, dan Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Terkait ahli, Pemohon pada perkara 53/PUU-XII/2014 tersebut berpendapat pada intinya yang dimohonkan oleh Pemohon Perkara nomor 50 dan 51 adalah sama. Sehingga ahli yang diajukan bergabung dengan Ahli Pemohon Perkara nomor 50 dan 51. Majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva itu juga mengesahkan sejumlah alat bukti. Sidang selanjutnya akan digelar Senin, 23 Juni 2014.
Sebelumnya, Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua orang pemohon perseorangan Sunggul Harmonang Sirait dan Haposan Situmorang menguji pasal 159 ayat (1) UU Pilpres karena dinilai multitafsir bila dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Pasalnya, hanya ada dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang berhadapan di Pilpres 9 Juni 2014 mendatang.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “Pasangan calon presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyebutkan “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang meperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menafsirkan ketentuan penetapan capres terpilih yang diatur dalam Pasal tersebut. (Lulu Hanifah/mh)