Jelang pemilihan presiden 9 Juli 2014 mendatang, sejumlah pihak meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang mengatur penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih yang dinilai multitafsir.
Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua orang pemohon perseorangan Sunggul Harmonang Sirait dan Haposan Situmorang menguji pasal tersebut lantaran hanya ada dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang berhadapan di Pilpres mendatang.
Andi Muhammad Asrun, perwakilan Forum Pengacara menjelaskan isi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945, dan Pasal 6A Ayat 4 UUD 1945 menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “Pasangan calon presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyebutkan “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang meperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.”
“Di sinilah masalahnya, memang nampak sekali Konstitusi kita dengan melihat konstruksi pasal ini bahwa pasangan calon diharapkan adalah lebih dari 2, sehingga diambil 2 yang terbanyak kemudian maju pada putaran kedua. Namun, Pasal 6A Ayat 3, tidak menyatakan secara eksplisit jumlah pasangan calon. Hal tersebut dapat dipahami ketika dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,” ujar Asrun dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang pleno gedung MK, Jakarta, Senin (16/6).
Selain itu, jika diterapkan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Pilpres 2014 dengan jumlah pasangan calon hanya 2 dan salah satu kandidat tidak dapat memenuhi Ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU a quo, maka prosedur berikutnya mengikuti ketentuan Pasal 159 ayat (2) UU tersebut, yaitu dilakukan pemilu presiden dan wakil presiden 2 putaran.
“Akibatnya, kembali kedua capres dan cawapres yang sama akan bertarung kembali dan akan mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan ketidakstabilan politik, bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan gesekan keras di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung,” imbuhnya. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menimbulkan multitafsir dan seharusnya diberikan makna dan/atau tafsir baru oleh MK.
Tidak Perlu Syarat Wilayah
Sementara, kuasa hukum Perludem dengan perkara teregistrasi 51/PUU-XII/2014, Wahyudi Djafar menyatakan adanya perbedaan pandangan terhadap UU Pilpres lantaran pendekatan yang berbeda di dalam menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4). “Ketidakpastian terhadap regulasi ini juga berpotensi menimbulkan gangguan penyelenggaraan atau instabilitas di mana pihak yang kalah dalam pemilu 9 Juli 2014 akan menuntut dilaksanakannya pemilu putaran kedua. Sementara pihak yang menang akan menuntut agar pemilu cukup dilaksakan dalam 1 putaran,” ujarnya.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 22-24/PUU6/2008, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Sehingga, legitimasi politik keterpilihan calon dalam suatu pemilihan umum yang bersifat langsung, cukup ditentukan besarnya perolehan suara pilihan rakyat, tanpa perlu adanya dukungan suara yang sifatnya kewilayahan atau teritorial. “Oleh karena itu, siapapun kandidat yang perolehan suaranya lebih besar, pasangan tersebut mendapat legitimasi politik dari rakyat untuk menjadi presiden dan wakil presiden yang terpilih,” ungkapnya.
Sementara, pemohon perseorangan yang diwakili Sunggul Hamonangan Sirait mempertanyakan dasar hukum yang digunakan KPU dalam menetapkan pemenang pilpres 2014. Ia berpendapat Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak bisa menjadi dasar dalam pelaksanaan pilpres kali ini.
Dengan tidak adanya aturan yang jelas tentang penyelenggaraan Pilpres pada 9 Juli mendatang, Sunggul menilai penyelenggaraan pilpres inkonstitusional. “Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon telah mengakibatkan penyelenggaraan pilpres inkonstitusional apabila tidak ada pasangan calon yang memenuhi sebaran hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU,” tegasnya. (Lulu Hanifah)